21 Perkembangan dan Periwayatan Hadist Pada Zaman Abu Bakar al-Shiddiq. Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar merupakan shahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Berbicara tentang periwayatan hadis berarti membicarakan tentang dua hal. Pertama penerimaan hadis, kedua penyampaian hadis, atau dikenal dengan istilah tahammul wa ada'ul hadits. Sebelum hendak meriwayatkan hadis, seorang rawi secara khusus atau seorang penuntut ilmu secara umum semestinya memperhatikan syarat-syarat periwayatan hadis. Apakah dirinya sudah pantas untuk menerima hadis terlebih menyampaikannya dengan maksud Menerima Hadis Para ulama tidak begitu ketat memberikan rincian tentang syarat-syarat sahnya seorang penerima riwayat. Namun seorang penerima riwayat sedikitnya haruslah memiliki dua hal utama, pertama sehat akal pikirannya, dan kedua secara fisik dan mental memungkinkan mampu memahami dengan baik riwayat hadis yang diterimanya.[1]Para ulama hadis berbeda persepsi tentang boleh tidaknya mereka yang belum mencapai usia taklif melakukan kegiatan mendengar hadis. Mayoritas ahli hadis cenderung memperbolehkan dan sebagian mereka tidak memperbolehkan. Muhammad 'Ajjaj al-Khatib cenderung pada pandangan pertama yang membolehkan. Karena sahabat, tabiin dan ahli hadis setelah mereka menerima riwayat sahabat yang masih berusia anak-anak seperti, Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah ibn Abbas, Abu Said Al-Khudri dan lain-lain tanpa memilah-memilah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Namun kemudian ulama hadis yang membolehkan kegiatan mendengar hadis yang dilakukan anak kecil, berbeda pendapat tentang batasan umurnya. Sebab hal ini tergantung pada masalah "tamyiz" dari anak kecil itu. Tamyiz ini jelas berbeda-beda antara masing-masing anak kecil. Ulama hadis telah berusaha maksimal untuk menjelaskannya, yang penjelasannya dapat kita ringkaskan ke dalam tiga pendapat Pertama, bahwa umur minimalnya adalah 5 tahun. Alasan yang digunakan oleh pendapat ini adalah riwayat Imam Bukhri dalam kitab Shahih-nya. Dari hads Muhammad Ibn al-Rabi' ra. berkata, 'Aku masih ingat ketika Nabi saw. Menyiram air dari timba ke mukaku, dan aku waktu itu berumur lima tahun.'Kedua, pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar hadis yang dilakukan oleh anak kecil menjadi absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Yang beliau maksudkan adalah 'tamyiz'. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan keabsahan aktivitas anak kecil dalam mendengar hadis didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak sudah bisa memahami pembicaraan sekaligus mampu memberikan tanggapan, maka ia sudah mumayiz dan absah pendengarannya, meski umurnya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak bisa memahami pembicaraan dan memberikan jawaban, maka kegiatannya mendengar hadis tidak absah, sehingga usianya harus di atas 5 tahun.[2]Syarat Menyampaikan HadisKebanyakan ulama hadis, ahli ushul, dan pakar fiqih menyepakati bahwa seorang guru yang menyampaikan sebuah hadis harus mempunyai ingatan dan hafalan yang kuat dhabit, serta memiliki integritas keagamaan 'adalah yang pada akhirnya melahirkan tingkat kredibilitas tsiqah. Sifat adil dalam periwayatan hadis adalah suatu karakter ada dalam diri seorang periwayat yang selalu mendorongnya melakukan hal-hal yang positif, atau selalu konsisten dalam melakukan kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya. Maka seorang periwayat harus memenuhi empat syarat untuk mencapai tingkat 'adalah, yaitu1. Islam. Pada periwayatan suatu hadis, seorang rawi harus beragama Islam. Periwayatan orang kafir dianggap tidak sah menurut ijma Baligh. Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis meski penerimaannya itu sebelum memasuki usia baligh. Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah SAW 1 2 3 Lihat Pendidikan Selengkapnya

A Pengertian periwayatan Hadits. Sementara secara istilah ilmu hadits, menurut yang dimaksud dengan Al-Riwayah adalah:"Kegiatan penerimaan dan penyamppaian hadits, serta penyandraan hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentk-bentk Tertentu" diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak Sahabat semuanya pada artikel kali ini saya akan berbagi Soal Al-Qur’an Hadits Kelas 10 Hadits Sumber Ajaran Islam kepada anda simak baik-baik 1. Sejarah perkembangan hadits menurut M. Hasbi Asy-Shidieqy dibagi menjadi ....a. 2 periodeb. 3 periodec. 5 perioded. 7 periodee. 9 periodeJawaban d2. Sumber hukum Islam yang kedua umat Islam setelah Al-Quran adalah....a. Ijma’ ulamab. Qiyasc. Ijtihadd. Kearifan Lokale. HaditsJawaban e3. Cara memperoleh hadits pada masa Rasulullah Saw. dengan cara ....a. Mendengar atau menyaksikan secara langsung maupun tidak langsung aqwal, af’al, dan takrir Melihat catatan para sahabat Rasulullah Membaca kitab hadits yang telah disusun para sahabat Rasulullah Meneliti berbagai macam kitab hadits agar mendapatkan yangshahih e. Bertanya kepada para sahabat yang masih hidup dan tersebar di berbagai wilayah kekuasaan IslamJawaban a4. Sebab tidak dituliskannya hadits pada awal perkembangan Islam adalah ....a. Belum ada di kalangan para sahabat Rasulullah Saw. Yang bisa membaca dan Hadits pada awal perkembangan Islam belum dianggap sesuatu yang pentingc. Belum banyak para sahabat yang cakap dalam baca tulis dan agar hadits tidak bercampur dengan wahyu Tidak adanya alat tulis yang memadai untuk menuliskan haditse. Nabi Saw. melarang menuliskan hadits kepada para sahabat Jawaban c5. Cara para sahabat meriwayatkan hadits melalui dua cara yaitu ....a. Dengan catatan asli dan salinannyab. Dengan lafal asli dan dengan maknanya sajac. Dengan lafal asli dan catatan aslid. Dengan catatan asli dan lafal yang mirip dengan maknanyae. Dengan riwayat langsung dan tidak langsungJawaban b6. Masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadist pada periode ketiga dikenal dengan istilah ....a. `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin'b. Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’c. Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’d. Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwine. Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-BahtsiJawaban c7. Salah satu kitab hadits yang masyur adalah al-Muwatha’ yang disusun oleh ....a. Imam Malikb. Imam Syafiic. Imam Bukharid. Imam Muslime. Imam AhmadJawaban a8. Masa pembukun hadits secara resmi terjadi pada masa khalifah .....a. Umar bin Khatabb. Usman bin Affanc. Muawiyah bin Abi Sufyand. Umar bin Abdul Azize. Harun ar-RasyidJawaban d9. Ulama yang mempelopori mengumpulkan hadits dengan mengunjungi berbagai kota agar dapat menyusun kitab hadits yang lengkap adalah ....a. Abu Hurairahb. Abu Bakr Muhammad bin Muslimc. Imam Malikd. Ishaq bin Rahawaihe. Imam BukhariJawaban e10. Induk enam kitab hadits sahih yang telah disusun ulama disebut dengan....a. Muttafaqun Alaihb. Al-Kutub as-Sittahc. Al-Ummd. Al-Muwatha’e. Al- Ushul Al-KhamsyahJawaban a1. Jelaskan periwayatan hadits dengan lafal asli dan dengan maknanya saja!Jawaban Dengan lafaz asli, yakni menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hapal benar lafaz dari Nabi. Dengan maknanya saja; yakni para sahabat meriwayatan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari Nabi2. Apa fungsi hadits pada masa awal perkembangan Islam?Jawaban Bayan al-taqrir, bayan al-tafshil, bayan al-ba’ts, bayan al-tasyri3. Mengapa pada masa Rasulullah Saw. hadits belum ditulis?Jawaban Belum banyak para sahabat yang cakap dalam baca tulis dan agar hadits tidak bercampur dengan wahyu Al-Quran4. Apa penyebab munculnya hadits-hadits palsu?Jawaban Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka5. Sebutkan ulama-ulama yang menyusun kitab induk hadits sahih al-kutub as-sittah!Jawaban Shahih Al- Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan AtTirmidzi,dan Sunan An- Nasa'iBaca juga Soal Al-Qur'an Hadits Kelas 10 Memahami Hadits, Sunnah, Khabar, Atsar

Secarabahasa, kata Tarikh ar-Ruwah berarti sejarah para periwayatan hadis. Menurut etimologis ini, ilmu Tarikh ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas segala hal yang terkait dengan para periwayat hadis. Dalam pengertian terminologisnya, ilmu ini difokuskan pengetahuan tentang para periwayat hadis dari segi keberadaan mereka sebagai periwayat hadis bukan dari segi-segi lain dalam kehidupan mereka.

Adab Muhaddits Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain. Hal-Hal Utama yang Menjadi Adab Muhaddits Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas. Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits. Anjuran-Anjuran Jika Hendak Menghadiri Mejelis Bersuci, merapikan diri, dan menata jenggot Duduk dengan tentang dan penuh perhatian sebagai penghormatan terhadap hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Menghadap kepada seluruh peserta majelis serta tidak menaruh perhatian hanya pada orang-orang tertentu dengan melalaikan peserta yang lain. Membuka dan menutup majelis dengan pujian kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Usia Seseorang Sehingga Layak Untuk Menyampaikan Hadits Dalam hal ini ada perbedaan pendapat Ada yang berpendapat usia lima puluh tahun. Ada pula yang mengatakan usia empat puluh tahun. Pendapat yang benar adalah ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dan sanggup membentuk majelis hadits, berapa pun usianya. Kitab yang Populer Al-Jami’ li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabi As-Sami’, karya Khatib Al-Baghdadi. Jami’u Bayani Al-Ilmi wa Fadhilihi wa ma Yanbaghi I Rawayatihi wa Hamlihi, karya Ibnu Abdil Bar. Adab Penuntut Ilmu Hadits Adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu hadits yaitu berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab muhaddits, dan ada juga yang khusus bagi penuntut ilmu hadits. Adab yang Bersekutu Dengan Adab Muhaddits Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu hadits. Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut ilmu hadits yang bisa menjerumuskannya pada motivasi keduniawian. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan untuk Allah Ta’ala, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari Kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” HR. Abu Daud, Ibnu Majah Mengamalkan hadits yang didengarnya. Adab yang Berlaku Khusus Bagi Penuntut Ilmu Hadits Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan, dan pertolongan Allah Ta’ala dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya. Selalu memperhatikan hadits secara komprehensif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya. Memulai dengan mendengar dari para guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu, maupun agamanya. Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarkannya serta senantiasa menghormatinya. Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan ilmu, meskipun berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah. Berusaha memahami hadits yang telah ditulis. Oleh karena itu, ia harus rela melelahkan dirinya tanpat mengenal waktu. Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahaminya, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, lalu Sunan Al-Kubra Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami’, seperti Musnad Imam Ahmad, Al-Muwatha’ Imam Malik, termasuk kitab Ilal seperti Ilal Daruquthni. Sedangkan kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh Kabir Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Ta’dil Ibnu Abi Hatim, Diabthu Al-Asma Ibnu Makula. Kitab yang membahas hadits gharib adalah kitab An-Nihayat Ibnu Katsir. Daftar Pustaka Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah Abu Fuad. Bogor Pustaka Tariqul Izzah Hadisitu berisi tentang jawaban pertanyaan seorang perempuan mengenai bagaimana membersihkan diri dari haid. Lalu, periode kedua. Ini dikenal pula sebagai periode membatasi hadis dan menyedikitkan riwayat, yaitu pada masa empat khalifah, Abu Bakar as-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

BAB IPENDAHULUANA. Latar Belakang Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya periwayatan. Mempelajari hadis adalah bagian dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini karena figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Swt. itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai tentang diri dan sejarah hidupnya serta tentang sabda dan perilaku hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah. Kajian tentang sabda dan perilaku Nabi oleh para ahli diformulasikan dalam wujud ilmu hadis ulumul hadis. Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak hanya menyangkut sabda atau teks matan hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya. Melakukan pengkajian secara khusus tentang periwayatan hadis itu sangat penting. Dengan menunjukkan macam-macam periwayatan hadis, adab atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara menerima dan menyampaikan hadis dapat diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian seperti yang telah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu baru serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi. Hadis dapat didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Faktanya hadis tidaklah langsung disampaikan dari Nabi langsung kepada periwayat hadis tersebut, karena mereka hidup di era yang berbeda. Akan tetapi, hadis sampai kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari sahabat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan akhirnya sampai pada periwayat. Pada makalah ini penulis akan membahas tentang bentuk-bentuk periwayatan hadis pada bab selanjutnya. B. Rumusan Masalah1. Apa pengertian dari periwayatan hadits?2. Bagaimana ciri-ciri orang yang meriwayatkan dan menerima hadits?3. Bagaimana bentuk periwayatan hadits?BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian Periwayatan HaditsSebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql penukilan, al-zikr penyebutan, al-fatl pemintalan dan al-istoqa’ pemberian minum sampai puas. Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[1]Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy periwayat.2. Apa yang diriwayatkan al-marwiy3. Susunan rangkaian pera periwayat sanad/isnad4. kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis at-tahamul wa ada al- Hadis.Adapun metode mempelajari hadits / menerima hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama berbagai generasi adalahAl-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan murid, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling bagus di antara metode yang ada menurut para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits. Al-Qira’ah ala al-Syaikh. Yaitu seorang murid membaca hadits yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah peristiwa ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan agar engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawab “ya”. Al-Ijazah. Metode ini adalah sebuah metode dengan pemberian izin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu. Al-Munawalah. Yaitu seorang guru memberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini mirip ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa murid diberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang diberikan. Al-Mukatabah yaitu sorang guru menulis hadits untuk tulisan seorang ulama tentang hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini dapat disebut korespodensi. I’lam al-Syaikh yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si murid kepada orang lain. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada muridnya sebelum pergi atau meninggal. Al-Wijada yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa lalu banyak juga dilakukan pada masa sekarang di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses seperti di atas.[2] B. Bentuk Periwayatan Haditsa. Bil LafadziDalam kamus besar Indonesia, periwayatan adalah kata yang memberoleh awalan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu cerita yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan adalah periwayatan hadis dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau yang terkenal ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat. Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn Ä€zib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum tidur yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasÅlika” beliau menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”. Tingkat kepedulian para sahabat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara laina. Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah ta’abbudiyyah, seperti tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah سيد الاستغفار اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، ØÙ„قتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما Ø§Ø³ØªØØ¹Øª، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دØÙ„ الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه Ù…ØÙ„Ù‡.Artinya “Paling tingginya ucapan istighfar adalah Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca pada waktu pagi.”b. Jawāmi’ al-kalimah ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna karena Nabi saw memiliki faá¹£aḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari AbÅ Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه artinya “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”c. Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil contoh hadis tentang sifat الله الأرض يوم القيامة، ويØÙˆÙŠ Ø§Ù„Ø³Ù…Ø§Ø¡ بيمينه، ØÙ… يقول أنا الملك، أين ملوك الأرض؟ Artinya “Pada hari kiamat Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”Namun ketika dihadapkan pada persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi faá¹£aḥaḥ, meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai berikut1. Cara lisan dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum Pengajian rutin dikalangan kaum Pengajian diadakan juga dikalangan kaum wanita setelah kaum wanita memintanya. Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu1. Dengan lisan dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melakukan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, berisi jawaban yang diajukan oleh sahabat dan bentuk jawaban Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu kegiatan yang berkaitan dengan Cara Nabi juga menyampaikan hadisnya selain cara lisan juga secara permintaan penjelasan terhadap sahabat, berupa taqrir atas amalan ibadah sahabat yang belum dicontokan langsung oleh Riwayat lain juga mengatakan cara Nabi menyampaikan hadisnya dengan bentuk Dalam bentuk lain juga Nabi menyampaikan hadisnya tidak dalam bentuk kegiatan melainkan berupa keadaan. Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya. Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai berikuta. Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW. Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[3]b. Bil Ma’naDalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang diskasikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang berbeda itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga terjadi perbedaan dikalangan para fukaha tentang kebolehan tidaknya meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini merupakan ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menerangkan cara tahammul ialah dengan cara itu dia menerima apa yang diwahnyukannya. Sebagaimana para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu menyampaikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia bukunya Ahmad Muhammad Å akir yang berjudul IhtiÅ¡ar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan sempurna dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, karena dia dengan pengertiannya mendalam dapat memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik menurut nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli hadis menyampaikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa lain adalah bahwa periwayatan hadis dengan maknanya telah dilakukan oleh para sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini terjadi karena mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka tidak boleh baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib menyampaikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya. Al- Imam Asy Syafi’i telah menerangkan tentang sifat-sifat perawi yaitu “Hendaklah orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna, karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”. Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, tidak boleh meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. Dengan demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.[4] BAB IIIPENUTUPSimpulan Sebuah periwayatan hadits merupakan bagian proses kodifikasi hadits yang sangat urgen, penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits tersebut yang memang benar-benar bisa diterima dan tidak ada kontradiksi secara subtansinya dengan al-Qur’an. Sebagimana kita ketahui hadits adalah sebuah perkataan seorang manusia, Nabi, yang tentunya secara gramtika bisa ditiru oleh manusia al-Qur’an adalah perkataan Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra atau tingkat kesulitan olah letak akhir bunyi dan sisi hakikatnya. Untuk itu perlu ada beberapa criteria bagi orang yang akan menerima riwayat maupun yang akan meriwayatkannya. Kesemuaya ini merupakan usaha untuk menjaga kesucian ajaran islam dari pencampuradukan dengan ajaran-ajaran dari luar Islam. Sedangkan dalam masalah matanya, redaksinya, yang merupakan ruh dari hadits tu sendiri, sebisa mungkin redaksi periwayatanya dengn riwayat bil-lafdzi, dan sebisa mungkin menghindari riwayat bil-ma’na meskipipun dalam realitanya ada riwayat dengan cara tersebut, bil-ma’na. seandainya jika kita tidak bisa menghindari periwayatan dengan bil-ma’na tentulah harus kita berikan komponen-kopoen atau variable kehati-hatian agar tidak merubah makna yang tekandung dalam pesan PUSTAKADrs. H. Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis, Bandung, Amal Bakti Perss, Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1988. [1] Drs. H. Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis, Bandung Amal Bakti Perss, 1997, Cet. II, h. 67. [4] Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta Bulan Bintang, 1988, h. 21

KataRiwayah artinya adalah periwayatan atau cerita.Ilmu hadist riwayah secara bahasa berarti ilmu hadist yang berupa periwayatan. Menurut Al-Akfani sebagaimana yang dikutip oleh Suyuthi,bahwa pengertian ilmu riwayah hadist adalah ilmu yang berhubungan khusus dengan riwayah yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan

Perawi hadis adalah salah satu dari manusia yang tidak terlepas dari rasa lupa dana tau kekurangan lainnya. Maka diantara perawi dalam menyampaikan hadis kepada rang lain adalah dengan lafadh aslinya tanpa menggantikan atau dan menambahkan teks-teks kalimat hadis sebagaimana ia mendengarkannya dari Rasulullah Saw. adakalanya meriwayatkan sesuatu hadis kepada orang lain dengan maknanya. Asal tidak menyimpang dari pengertian sesuatu hadis disebabkan penambahan dan atau menggantikan sebahagian kalimat dari sesuatu hadis dengan kalimat yang lain. Para ulama berbeda pendapat tentang periwayatan hadis dengan makna. Sebahagian ulama hadis, ahli fiqh dan ulama ushul mengatakan bahwa para perawi wajib meriwayatkannya dengan lafadh sebagaimana ia mendengarnya dari Nabi Saw. Ketegasan yang senada juga pernah dikemukakan oleh Abu Bakar Ibn al Arabi, Muhammad Ibn Suri, Qasim Ibn Muhammad dan Abu Bakar al-Razi. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut MuhadditsinPERIWAYATAN HADIS DENGAN MAKNAMENURUT MUHADDITSINBurhanuddin Abd. GaniFakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-RaniryKopelma Darussalam Kota Banda AcehABTRACTThe narrator of the hadith is one of human beings who is inseparablefrom a sense of forgetfulness and other shortcomings. So among the narrators inconveying the hadith to another rang is with the original lafadh without replacingor adding texts and hadith sentences as he heard it from the Prophet. sometimesnarrate a hadith to someone else with its meaning. As long as it does not deviatefrom the meaning of a hadith due to the addition and / or replacing of somesentences from one hadith with another sentence. The scholars differed about thenarration of traditions with meaning. Some hadith scholars, fiqh experts and usulscholars said that narrators must report it with lafadh as he heard it from theProphet. Similar assertions were also expressed by Abu Bakr Ibn al Arabi,Muhammad Ibn Suri, Qasim Ibn Muhammad and Abu Bakr hadis adalah salah satu dari manusia yang tidak terlepas dari rasa lupadana tau kekurangan lainnya. Maka diantara perawi dalam menyampaikan hadiskepada rang lain adalah dengan lafadh aslinya tanpa menggantikan atau danmenambahkan teks-teks kalimat hadis sebagaimana ia mendengarkannya dariRasulullah Saw. adakalanya meriwayatkan sesuatu hadis kepada orang laindengan maknanya. Asal tidak menyimpang dari pengertian sesuatu hadisdisebabkan penambahan dan atau menggantikan sebahagian kalimat dari sesuatuhadis dengan kalimat yang lain. Para ulama berbeda pendapat tentang periwayatanhadis dengan makna. Sebahagian ulama hadis, ahli fiqh dan ulama ushulmengatakan bahwa para perawi wajib meriwayatkannya dengan lafadhsebagaimana ia mendengarnya dari Nabi Saw. Ketegasan yang senada jugapernah dikemukakan oleh Abu Bakar Ibn al Arabi, Muhammad Ibn Suri, QasimIbn Muhammad dan Abu Bakar Kunci Riwayat bil Ma’na, Muhadditsin, Al-Muashirah Vol. 16, No. 1, Januari 2019A. PendahuluanDalam mempelajari hadis kita mengenal 2 dua istilah yaitu sanad danmatan. Untuk menetapkan shahih tidaknya suatu hadis dapat diketahui dengancara meneliti kedua hal tersebut di adalah rangkaian perawi yang dapat menghubungkan antara matansuatu hadis dengan Nabi Saw. sedangkan matan adalah lafadh/ teks hadis itusendiri. Adapun seorang perasi menerima suatu hadis dari seseorang danmenyampaikanny kepada orang lain dianamakn sesuatu hadis dari seseorang dan menyampaikanya kepadaorang lain, terdiri dari dua hal, yaitu periwayatan dalam bentuk lafadh hadis bil-makna adalah seseorang perawi dalam meriwayathadis atau menyampaika kepada orang lain, bukan dengan lafadh aslinya, akantetapi merobah atau menggantikan dengan lafadh- lafadh yang semakna denganucapan yang ia dengar dari Nabi ulama hadis telah berbeda pendapat tentang boleh tidaknya seorangperawi hadis meriwayatkannya dengan makna. Justru karena itu, maka yangmenjadi topik pembicaraan adalah apakah boleh hadis itu diriwyatkan denganmakna. Untuk memberi jawaban yang dimaksud perlu adanya suatu penelitiandengan mengkaji kitab –kitab dan buku –buku yang ada hubungannya denganpembahasan ini dan diakhiri dengan beberapa Pengertian Hadis Dan Acara PeriwayatannyaPara ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadis. Hal inidisebabkan berbeda pandangannya dalam menilai luasnya arti ahli hadis, menyatakan bahwa hadis sama dengan arti Sunnah;yang mencakup segala sesuatu yang diterima dari Nabi Saw. baik sebelumdiangkat menjadi Rasul nubuat maupun sesudahnya. Namun demikian merekajuga mereka berpendapat bahwa bila disebutkan dengan istilah hadis,makamaknanya adalah perkataan, perbuatan dan iqrarnya Nabi Saw setelah ia diangkatsebagai urain di atas maka ulama hadis telah memberikanta’rif hadis sebagai berikut “Perkataan Nabi Saw, perbuatan dan hal ihwalnya”.Menurut ahli ushul, bahwa istilah hadis sama dengan As-Sunnah. Akantetapi hadis itu pengertiannya lebih bersifat khusus; itupun terbatas dalam masalahyang ada sangkutpautnya dengan hukum. Sedangkan kebanyakan para muhadisinmenetapkan bahwa hadis itu adalah sinonim beberapa pengertian yang telah dikemukakan para ahlitentang pengertian hadis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut yang dikatakanhadis adalah segala perkataan, perbuatan dan keadaan taqrir Nabi itu, kalangan ushuliyin mempunyai persepsi lain, yaitu segalatingkah laku Nabi Saw, baik ucapan, perbuatan dan persetujuannya serta adaketerkaitannya dengan hukum, mereka cenderung menyebutnya inilah yang dikemukakan oleh mayoritas ulama denganungkapan As-Sunnah dalam sabda Nabi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet. X, Bulan Bintang,Jakarta, 1991, hal, al-Qasimi, Qawa – iduttahdis, Dar al-Ihya, Mesir, Cet. II, 1380, hal. 35. Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut Muhadditsinﱵّﻨﺳو ﷲا بﺎﺘﻛ اﻮﻠﻀﺗ ﻦﻟ ﻪﺑ ﻢﺘﻜﺴﲤ نإ ﺎﻣ ﻢﻜﻴﻓ ﺖﻛﺮﺗ ﱐإArtinya “Sungguh, saya telah mewariskan untuk kamu dua perkara; bila kamuberpegang dengan keduanya itu tidak akan sesat selama-lamanya yaitu,Kitab Allah al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.”Para rawi telah menerima sebuah hadis dari seseorang danmenyampaikannya kepada seseorang yang lain, penyampaian tersebut baik secaramaknawy maupun keabsahan hadis-hadis yang diriwayatkan itu, maka kalanganmuhaddisin menetapkan beberapa syarat khusus, baik syarat ketika menerimatahammul hadis, maupun syarat saat menyampaikan ada’ kannya kepada oranglain. Para ulama tidak merinci seputar syarat-syarat sahnya penerimaan masaperiwayatan; akan tetapi dapatlah dinyatakan bahwa seorang penerima riwayathadis hendaknya ;a. Sehat akal pikirannyab. Secara fisik dan mental memungkinkan dapat memahami danmengertidengan baik riwayat hadis yang di kepada syarat yang telah disebutkan diatas maka tidak salahnyaseorang anak boleh menerima hadis asal saja ia sehat akal Ulama telah membolehkan anak-anak menerima riwayat hadis,akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai berapa batas umur minimalseseorang anak sehingga dibenarkan menerima riwayat pertama mengatakan bahwa batas minimal usia anak tersebutadalah 5 lima kedua mengatakan bahwa anak tersebut sekedar bisamembedakan antara sapi dan keledai. Ini adalah pendapat Musan bin Harun lain mengatakan bahwa syaratnya adalah asal si anak sudahdapat memahami percakapan dan dapat berkomunikasi meskipun belum sampai 5lima lain mengatakan bahwa orang kafir pun dianggap sah beberapa macam cara periwayatan sesuatu hadis, dari seorang perawikepada perawi lainnya, yaitu1. As Sima’i2. Al Qira’ah /Qira’ah ala Asy Syeikh3. Al Ijazah4. Al Munawalah5. Al Mukatabah6. Al I’lam/I’lam ala Asy Syeikh7. Al Washiyah8. Al WijadahM. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1998, Ajaj al Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumul hadis wa Musthalahahuh, DarFikri, Beirut, 1975, hal. Syuhudi Ismail, Op. Cit. hal, 51. Al-Muashirah Vol. 16, No. 1, Januari 2019Ad. 1. As Sima’iYang dimaksud dengan Al Sima’i seseorang mendengar sendiri riwayathadis itu dari gurunya, baik didektekan maupun tidak, baik dari hafalannyamaupun dari hal ini sighat yang digunakan antara lainﺖﻌﲰ- ﺎﻨﺛﺪﺣ– ﲎﺛﺪﺣ– ﱏﱪﺧأ– ﺎﻧﱪﺧأ– ﺎﻨﻟ لﺎﻗ–ﺎﻨﻟ ﺮﻛذPeriwayatan dengan cara tersebut di atas menurut pengakuan jumhurulama dinilai sebagai cara yang berkualitas seperti tersebut diatas, perlu dilihat lagi, sebab hasil pendengaranseseorang itu ditentukan oleh beberapa faktor misalanyaa. Kepekaan alat pendengaranb. Kejelasan suara yang didengarc. Kesungguhan pendengar terhadap apa yang didengarnyad. Kemampuan memahami apa yang adanya beberapa faktor diatas yang mempengaruhi hasilpendengaran, tentu saja hasil pendengaran antara seseorang dengan orang lainterdapat perbedaan kualitas, sehingga tidak semua hasil pendengaran perawiberkualitas tinggi. Dan untuk menentukan tinggi rendahnya kualitas, perlu adanyapenelitian terhadap masing-masing individu hadis memberi status yang tinggi terhadap periwayatan yangmenggunakan cara al Sima’i ini, paling tidak ada dua alasan, yaitua. Masyarakat pada waktu itu masih menempatkan cara hafalan sebagaicara yang terbaik dalam menimba ilmu pengetahuan. Kemampuanseseorang dibidang hafalan menjadikan orang itu memiliki kedudukanyang tinggi dalam Adanya hadis Nabi yang menyatakanﻢﻜﻨﻣ ﻊﲰ ﻦﳑ ﻊﻤﺴﻳو ﻢﻜﻨﻣ ﻊﻤﺴﻳو نﻮﻌﻤﺴﺗ .دواد اﻮﺑأ ﻩاورHadis di atas memberikan isyarat bahwa periwayatan hadis yang secarategas diakui kebenarannya oleh Nabi adalah dengan menggunakan cara al Sima’ 2. Al Qira’ah / Qira’ah ala al SyeikhCara penerimaan riwayat hadis kedua ini disebut juga dengan ﺦﻴﺸﻟا ﻦﻋ ضﺮﻌﻟا\ضﺮﻌﻟاDalam hal ini perawi menghadapkan riwayat hadis kepada gurunya,dengan cara perawi itu sendiri yang membacanya atau orang lain yangmembacakannya dan dia mendengarkan. Baik yang dibacakan itu berasal daricatatannya maupun yang berasal dari Al-Salih, Ulumul Hadis wa Musthalahuhu, Dar Al-Ilmi, Al Malayin, Beirut,1977, hal. Al-Salih, Ulumul Hadis wa Musthalahuhu, Dar Al-Ilmi, Al Malayin, Beirut,1977, hal. Daud Sulaiman bin al-Asy as al Sijistani, Sunan Abi Daud, juz 3, Dar al- Fikri,Beirut. hal. Dawud, Sunan Abu Dawud, hal. al Salih, Op. Cit; lihat Al Khatib, Op. cit. hal. 234. Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut MuhadditsinPada periwayatan cara kedua ini guru menyimak dengan teliti apa yangdibacakan oleh muridnya dan mencocokkannya dengan apa yang ada padahafalannya, sedangkan si penerima lebih aktif lagi, sebab dialah yang perbedaan pendapat mengenai mana yang lebih tinggi diantara duacara periwayatan hadis sebagaimana tersebut di atas. Sebagian ulamamengatakan bahwa kedudukan al-Qira’ah sama dengan kedudukan Al Sima’ ini didukung oleh az Zuhri, Malik bin Anas, Sofyan bin Uyainah dan al Suyuthi, Sofyan al Tsauri, Ahmad bin Hambal, Abdullah binMubarrak dan Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa kedudukan al Sima’I lebihtinggi daripada al Qira’ah. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan beberapa ulamalagi mengatakan bahwa al Qira’ah lebih tinggi daripada al Sima’ dilihat dari dua acara tersebut di atas, maka cara al Qira’ahlahyang lebih meyakinkan kebenarannya, dengan alasan si guru dan si muridmemperdengarkan ucapannya. Si murid langsung memperdengarkan kepada gurudan si guru membenarkan ucapan si murid bila ucapan itu benar. Dan gurumengatakan salah bila ucapan si murid itu salah. Sedangkan kelemahan cara alSima’I adalah pihak murid hanya mendengar saja dari pihak gurunya, hal sepertiini si murid bersifat pasif, menerima apa yang dikatakan gurunya – sighat yang dipakai dalam periwayatan dengan al Qira’ah terbagimenjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang telah disepakati dan yang yang telah disepakati adalah -نﻼﻓ ﻰﻠﻋ تأﺮﻗ-ﻪﺑﺮﻗﺄﻓ ﻊﲰأ ﺎﻧأو نﻼﻓ ﻰﻠﻋ تأﺮﻗAdapun sighat ﺎﻨﺛﺪﺣ dan ﺎﻧﱪﺧأ yang tanpa diikuti kata –kata lain telahdiperselisihkan para ulama. Dalam hal ini Ibnu al Mubarrak, Ahmad bin Hambal,An Nasa’I dan beberapa ulama lainnya tidak membenarkan sighat di atas untukperiwayatan secara al Qira’ah. Sedangkan az Zuhri, Malik bin Anas, Sofyan asSauri dan al Bukhari membolehkan dan bahkan mereka membolehkan jugapenggunaan ﺖﻌﲰﻓﺎﻧﻼ . Sedangkan Asy Syafi’i dan Muslim hanyamembenarkan penggunaan ﺎﻧﱪﺧأ dan tidak membenarkan kata ﺎﻨﺛﺪﺣ .Ad. 3. Al Ijazah_____________M. Syuhudi Ismail, Op. Cit. hal. lihat juga Hasbi ash Shiddieqy, Pokok –pokok Ilmu Dirayat Hadis, Juz 2, BulanBintang, Jakarta, 1981, hal. 47. Al-Muashirah Vol. 16, No. 1, Januari 2019Al Ijazah adalah cara penerimaan riwayat hadis dengan cara seorang gurumemberi izin kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya,baik pemberian izin itu dinyatakan secara lisan ataupun secara hadis dengan cara ijazah ini diperselisihkan ulama tentangboleh atau tidaknya. Syu’bah bin al Hajaj dan Abu Zurah ar Razi, Ibrahim alHarbi serta Abu Nasr al Waili tidak membolehkan periwayatan hadis denga caraal Ijazah, tetapi Jumhur ulama hadis atau sighat yang biasa digunakan dalam periwayatan hadis caraijazah, yaitu ﻩزﺎﺟإ ﺎﻨﺛﺪﺣ– ﺎﻧذإ ﺎﻨﺛﺪﺣ–ﱃ زﺎﺟأوAda juga yang menggunakan kataةزﺎﺟإ 4. Al MunawalahYang dimaksud dengan al Munawalah ialah bahwasanya seorang gurumemberikan hadisnya kepada muridnya untuk diriwayatkan kepada orang garis besarnya periwayatan hadis dengan al Munawalah ini terbagimenjadi dua macam, yaitua. Al Munawalah yang disertai dengan ijazahb. Al Munawalah yang tidak disertai dengan Ad. a. al Munawalah yang disertai dengan ijazah ialah meriwayatkanhadis dengan cara setelah guru memberikan hadisnya diikuti denganperkataan yang memberikan izin / perintah agar si penerimameriwayatkan kepada orang Ad. b. al Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah ialah ketikaguru menyampaikan hadis kepada murid –muridnya tidakmenyertakan kata –kata yang menunjukkan agar hadisnyadiriwayatkan sebagaimana yang disebutkan di para ulama tidak membenarkan periwayatan hadis dengancara al Munawalah yang tidak disertai dengan yang digunakan dalam periwayatan hadis dengan cara alMunawalah ini adalahﻩورﺄﻓ نﻼﻓ ﻦﻋ ﱴﻳاور وأ ﻰﻋﺎﲰ اﺬﻫﱴﻳاور ﻦﻣ وأ ﻰﻋﺎﲰ al Salih, Op. Cit. hal. Ash Shiddieqy, op. cit. hal Ash Shiddieqy, op. cit. hal 52Fathurrahman, Ikhtisar Musthalah al Hadis, al Ma’arif Bandung, 1978, hal. Mahfuz bin Abdullah at Turmuzi, Manhaj Zawi an Nazar, Dar al Fikri,Beirut, 1974, hal. Ismail, op. cit. hal, 218. Dan seterusnya lihat juga Subhi al Salih, op. cit. Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut MuhadditsinAd. 5. Al MukatabahYang dimaksud dengan al Mukatabah adalah seorang guru menuliskanhadis yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu, baik yangmenulisnya guru itu sendiri maupun menyuruh orang lain untuk menuliskannyadan orang yang diberi hadis itupun boleh ada di hadapan guru ataupun adaditempat Mukatabah ini juga terbagi kepada dua macam, yaitu yang disertaidengan ijazah dan tanpa disertai dengan ijazah. Akan tetapi baik al Mukatabahdengan ijazah maupun tanpa ijazah para ulama pada umumnya lebih jelasnya disini akan diterangkan perbedaan antara al Mukatabahdengan al al Mukatabah, hadisnya pasti dalam bentuk tulisan, sedangkandalam al Munawalah hadisnya belum tentu dalam bentuk tulisan, melainkan dapatjuga dengan yang digunakan dalam meriwayatkan hadis yang diterima dengancara al Mukatabah ini antara lain -ﺔﺑﺎﺘﻛ نﻼﻓ ﲎﺛﺪﺣ-ﻪﺑﺎﺘﻛ نﻼﻓ ﱏﱪﺧأ- ﺎﻧﻼﻓ ﻻإ ﺐﺘﻛ-ﺔﺒﺗﺎﻜﻣ ﻪﺑ ﱏﱪﺧأ-ﻪﺑﺎﺘﻛ ﻪﺑ 6. Al I’lam / I’lam ala al SyeikhPenerimaan riwayat hadis dengan al I’lam dilaksanakan dengan caraseorang guru memberitahukan kepada muridnya tentang hadis atau kitab yangtelah diterimanya dari gurunya tanpa sisertai pernyataan agar si muridmeriwayatkannya lebih ulama menganggap tidak sah periwayatan hadis yang diterimadengan cara al I’lam ini, sebab dengan tidak adanya perintah guru untukmeriwayatkannya itu, dan akan menambah alasan lain bahwa guru tidakmemerintahkannya, ada kemungkinan terdapat kecacatan pada hadis yangdiberitahukannya kebanyakan ulama menganggap sah periwayatan hadis dengan caratersebut diatas, dengan alasan bukanlah berarti tidak adanya perintahmeriwayatkannya sudah pasti terdapat kecacatan pada sesuatu Mahfuz bin Abdullah at Turmuzi, Manhaj Zawi an Nazar, hal. Ismail, op. cit. hal, 218. Dan seterusnya lihat juga Subhi al Salih, op. cit. Rahman, Op. Cit., hal. 218Syuhudi Ismail, Op. Cit. hal. 59 Al-Muashirah Vol. 16, No. 1, Januari 2019Adapun lapadh yang digunakan dalam periwayatan hadis dengan al I’lamini biasanya ﺎﻣﻼﻋإ ﺎﻧﱪﺧأ atau yang 7. Al WashiyahPeriwayatan dengan cara al Washiyah adalah seorang guru mewasiyatkanhadis / kitab yang telah diriwayatkannya kepada orang lain muridnya sebelum iawafat untuk semacam ini para ulama telah berbeda pendapat, sebahagianulama membolehkannya, sebab timbunya perbedaan perbedaan di atas tidak lainhanya berpangkal pada tidaknya perintah untuk meriwayatkannya kepada oranglain. Adapun lapadh yang dipakai dalam meriwayatkan hadis yangdiperbolehkan dengan al Washiyah ini adalahﱄإ ﻰﺻوأAd. 8. Al WijadahCara periwayatan hadis dengan al Wijadah adalah seseorang mendapatkanhadis yang ditulis oleh perawinya, tetapi bukan dengan cara al Sima’I, alIjazah maupun al Munawalah. Maksudnya bila saja orang mendapatkan hadissemasa dan pernah bertemu dengan perawinya atau tidak pernah bertemu danbisa pula tidak hidup semasa, pernah menerima riwayat darinya maupunbelum pernah sama para ahli hadis dan fuqaha, yaitu Malikiyah dan lain-lain,berpendapat bahwa beramal dengan hadis yang diterima dengan jalan alWijadah tidak boleh, sedangkan al Syafi’i yang mebolehkan periwayatan dengan caraa al Wijadah, telahmemberikan syarat-syarat tertentu, yaitua. Tulisan hadis yang didapati haruslah telah diketahui secara pasti siapaperawi yang Kata-kata yang didapati untuk periwayatan lebih lanjut haruslah kata-katayang menunjukkan bahwa asal hadis itu diperbolehnya secara lafaz yang digunakan meriwayatkan hadis yang diperoleh dengancara Al-wijadah ialah نﻼﻓ ﻂﳜ ﺪﺟو–نﻼﻓ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻪﻄﲞ نﻼﻓ بﺎﺘﻛ ﰱ تﺪﺟو–نﻼﻓ ﺎﻨﺛﺪﺣنﻼﻓ ﻦﻋ ﲎﻐﻠﺑ وا نﻼﻓ ﻦﻋ تﺪﺟو_____________Subhi al Salih, Op. cit. hal. Ash Shiddieqy, op. cit, hal. 67Syuhudi Ismail, op. cit. hal. 60 Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut Muhadditsinنﻼﻓ بﺎﺘﻛ ﺔﺨﺴﻧ ﰱ تﺪﺟونﻼﻓ ﻂﳜ ﻪﻧأ ﺖﻨﻨﻇ بﺎﺘﻛ ﰱ تﺪﺟو .Agar sesuatu hadis yang diriwayatkan dianggap sah. Ada beberapa syaratyang harus dipenuhi oleh seseorang, yaitua. Beragama Islamb. Balighc. Berakald. Tidak pasiqe. Terhindar dari tingkah laku yang mengurangi atau menghilangkankehormatan muru’ahf. Mampu menyampaikan hadis yang telah Sekiranya memiliki cacatan hadis, maka catatannya itu dapat Mengetahui dengan baik apa yang merusak maksud hadis yangdiriwayatkannya secara yang ketika menerima hadis dahulu bertindak sebagai murid,maka ketika menyampaikan hadis yang pernah diterimanya tersebut, pada saat itubertindak sebagai juga cara-cara yang digunakan oleh seseorang dalam menerimariwayat hadis dan digunakan pula oleh orang lain untuk menerima hadis jenis periwayatan hadis tersebut di atas bisa diriwayatkan dalambentuk lafadh dan ma’ Pengertian Periwayatan Hadis dengan MaknaDalam meriwayatkan sesuatu hadis kepada seseorang, para perawi menempuhdua jalan, yaitu meriwayatkan hadis dengan lafadh dan dengan maknanya pengertian dari periwayatan hadis dengan lafadh, seorang perawimeriwayatkan hadis dengan teks sebagaimana ia mendengarnya dari Nabi Sawtanpa menambah atau merobah dengan sesuatu kalimat apapun. Sedangkanpengertian periwayatan hadis dengan makna adalah seseorang perawimeriwayatkan sesuatu hadis dari Nabi Saw dengan merobah atau menggantikankalimat lain yang semakna dengan lafadh yang asli, sejauh tidak akan merusakkeutuhan maksud dari sabda Rasulullah hadis dengan makna berlaku seluruhnya terhadap hadis-hadisyang bersifat fi’liyah. Sebagai contoh seorang sahabat perawi melihat kaifiyatshalat Nabi Saw, baik dalam hal mengangkat dua tangan waktu takbiratul ihram,maupun waktu mengerjakan perbuatan hal seperti tersebut itu, para sahabat telat menterjemahkan segalakelakuan praktek Nabi shalat kedalam Bahasa yang dapat dimengerti dandipahami pihak-pihak yang tidak melihat langsung segala aktifitas pelaksanaanshalat Nabi Saw. penerjemahan dimaksu tentunya kedalam Bahasa dan gayaperawi al Qasimi, op. cit., hal. 67. Al-Muashirah Vol. 16, No. 1, Januari 2019D. Perbedaan Pendapat Ulama tentang Periwayatan Hadis dengan MaknaSeseorang perawi dalam mentahammulkan hadis kepada orang lainmempunyai cara-cara tersendiri, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh paraahli; seperti kewajiban harus mendengar dan mengert, memahami an hadis adalah salah satu dari manusia yang tidak terlepas dari rasalupa dana tau kekurangan lainnya. Maka diantara perawi dalam menyampaikanhadis kepada rang lain adalah dengan lafadh aslinya tanpa menggantikan atau danmenambahkan teks-teks kalimat hadis sebagaimana ia mendengarkannya dariRaasulullah Saw. adakalanya meriwayatkan sesuatu hadis kepada orang laindengan maknanya. Asal tidak menyimpang dari pengertian sesuatu hadisdisebabkan penambahan dana atau menggantikan sebahagian kalimat dari sesuatuhadis dengan kalimat yang ulama berbeda pendapat tentang periwayatan hadis dengan ulama hadis, ahli fiqh dan ulama ushul mengatakan bahwa paraperawi wajib meriwayatkannya dengan lafadh sebagaimana ia mendengarnya dariNabi yang senada juga pernah dikemukakan oleh Abu Bakar Ibnal Arabi, Muhammad Ibn Suri, Qasim Ibn Muhammad dan Abu Bakar tetapi jumhur ulama mengatakan sebaliknya, boleh bagi seorang perawimeriwayatkan hadis dengan makna, dengan syarata. Bahwa seorang perawi adalah orang yang mengetahui bahsa arab denganmendalam dan mengetahui pula arah tujuan semua ungkapan dan selukbeluk Bahwa seorang perawi mengetahui dengan benar lafadh yang dapatmerubah makna dan yang kedua syarat tersebut di atas tidak ada maka periwayatan hadisdenganmakna tidak Asy Syafi’I menjelaskan tentang sifat perawi hadis, yaitua. Hendaknya orang yang meriwayatkan hadis itu tsiqah dalam Ia terkenal benar atau jujur dalam Mengetahui benar tentang hal –hal yang memalingkan makna dari Hendaknya apa yang diriwayatkannya itu betul sebagaimana syarat-syarat tersebut ini tidak ada pada seorang perawi makadikhawatirkan ia akan dapat menghalalkan yang haram atau Shalih menyebutkan dalam bukunya Ulumul Hadis wa musthalahuhubahwa kebanyakan ulama membolehkan memaknanya, setiap perbuatan agamadianggap sah bila diawali dengan prinsipnya periwayatan hadis dengan makna tidak hanya mengakibatkanterjadinya perbedaan redaksi semata, tetapi dapat juga mengakibatkan timbulnyaperbedaan penggunaan muta’akhirin berpendapat bahwa bolehnya meriwayatkan hadisdenganmakna itu terbatas pada saat sebelum hadis didewankan secara resmi dan_____________Muhammad Ajjaj al Khathib, op. cit., hal. Ismail, op. cit., hal. Ajaj al Khatib, op. cit. hal. 257. Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut Muhadditsinsetelah hadis secara resmi didewankan, maka periwayatan hadis secara maknatidak dibenarkan Analisis PenulisSejarah perkembangan ilmu hadis telah mencatat bahwa hadis ituberkembang sejak dari Nabi Saw sampai kepada para sahabat bahkan pada masa-masa sesudahnya. Diantara para sahabat ada yang paling banyak meriwayatkanhadis ada juga yang sangat sedikit jumlahnya, perbedaan semacam ini dilihat darisegi dekat atau tidaknya dengan tidak banyak ditulis oleh para sahabat dimasa Rasulullah hidup,hanya para sahabat dalam periwayatan hadis lebih banyak menyampaikan melaluilisan, dari mulut, bahkan ada sebahagian sahabat pada saat itu yang belum bisamenulis sama sekali. Maka kebanyakan mereka dalam meriwayatkan hadisdengan lapadhnya saja sebagaimana ia mendengarnya dari mulut Nabi para ahli hadis tentang wajib periwayatan hadis dengan lapadhdapat saja diterima mengingat untuk menjaga keutuhan dari matan ungkapansesuatu hadis. Namun, konsep ini juga dapat untuk ditinjau Mengingat kepada sabda Rasul ada yang bersifat qauliyah dan adayang bersifat fi’liyah perbuatan. Hadis yang berdasarkan qauliyahmungkin para sahabat meriwayatkan persis sebagaimana yang bersifat fi’liyah dalam periwayatannya para sahabatakan menterjemahkan ke dalam bentuk ucapan dan makna. Andaikatatidak diterjemahkan, maka hadis Nabi itu tidak akan dapat dipahamioleh ummat manusia secara Para perawi adalah manusia yang tidak terlepas dari sifatkemanusiaannya, yaitu sifat pelupa. Oleh karena itu ia sangat sulitdalam meriwayatkan hadis dengan lapadh secara keseluruhan,disebabkan oleh tingkat kemampuannya sangat terbatas. Dalamkondisi seperti ini agama membenarkan periwayatan hadis denganmakna asal saja tidak menyimpang dari tujuan sesuatu Kecenderungan penulis tentang bolehnya periwayatan hadis denganmakna, bila mana seorang perawi telah mempunyai beberapa syarat-syarat terjaminnya kemurnian sesuatu hadis. Syarat-syarat tersebutadalaha. Mereka harus benar-benar memiliki pengetahuan Bahasa arab Periwayatan dengan makna itu dilakukan karena sangat terpaksa,misalnya lupa susunan secara Yang diriwayatkan dengan makna itu tidak termasuk sabda Nabiyang tergolong ucapan yang sifatnya ta’ Perawi yang meriwayatkan hadis secara makna atau yang raguakan susunan lapadhnya, hendaknya dibelakang matannya_____________Muhammad Abu Zakir, Al Hadis wa al Muhadditsun, Kitab al Arabi, Beirut, 1984, Al-Muashirah Vol. 16, No. 1, Januari 2019ditambah dengan kata-kata لﺎﻗ ﺎﻤﻛ وأ atau اﺬﻫ ﻮﳓ وأkata-kata lain yang beberapa alasan tersebut di atas, maka pendapat yangmengatakan periwayatan hadis wajib dengan lafadh adalah KesimpulanSetelah penulis menyampaikan secara rinci isi makalah ini dari babpertama dan kedua maka pada bab terakhir ini penulis akan memberikan beberapakesimpulan, antara lain1. Perkataan Sunnah dan hadis adalah sama maknanya, semua hal yangakan disandarkan kepada Rasulullah Saw. baik yang bersifatperkataan, perbuatan maupun Sistem periwayatan sesuatu hadis adalah melalui pendengaranlangsung, membaca, bacaan ijazah, munawalah, mukatabah, al I’lam,al washiyah dan Periwayatan hadis dengan makna dibenarkan, tetapi seseorang perawiharus memenuhi persyaratan –persyaratan Setelah hadis dikumpulkan dan kodefikasikannya secara resmi, makaperiwayatan hadis dengan makna tidak dibenarkan RekomendasiSebagai uraian terakhir dari makalah ini adalah berupa saran-saran, yaitu1. Hendaknya para ahli hadis dalam menyampaikan hadisnya kepada oranglain, betul –betul sebagaimana ia mendengar dan Hendaknya para ulama mempelajari ilmu mushalah hadis secaramendalam, agar dapat mengetahui mana hadis –hadis yang berdasarkanriwayat dengan makna dan mana hadis yang berdasarkan riwayat Hendaknya makalah yang singkat ini menjadi sebahagian bahan dalammempelajari ilmu Burhanuddin Abd. Gani Periwayatan Hadits dengan Makna menurut MuhadditsinDAFTAR PUSTAKAAbu Daud, Sunan Abi Daud, Juz’ III, Darul Fikri Bairut t. Qasimi, Qawaidul Tahdis, Dar Al Ahya, Mesir, Cet II, 1980Fathurrahman, Ikhtiar Musthalah al-Hadis, Al-Ma’arif Bandung, Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Cet. X, BulanBintang, Jakarta, Ash Shiddieqy, Pokok –pokok Ilmu Dirayatul Hadis, juz , BulanBintang, Jakarta, Ajaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Ulumul Hadis waMushtthalahuhu, Darul Fikri, al-Malayu, Beirut, 1975Muhammad Abu Zakir, Al-Hadis wa al Muhadditsun, al-Arabi, Bairut, 1984Muhammad Mahfuz bin Abdullah At-Turmizi, Manhaj Zawi An-Nazar,Darul Fikri Bairut, 1974M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesalehan Sanad Hadis, Bulan Bintang,Jakarta, Ak-Shaleh, Ulumul Hadis wa Mushthahuhu, Darul Fikri Al-MelayuBairut, 1977. Wahyudin DarmalaksanaThe abundance of hadith research demands a classification to sustain the discipline of hadith studies. This study aims to conduct a classification review on hadith research. The method used is qualitative through a literature review and employs a content analysis. The result shows some findings and discussions regarding the distribution, classification, and implication of hadith research. This study concludes that the classification of hadith research is significant for its enthusiasts to discern a position in sustainable research. Hence, this necessitates a formulation for hadith research development in the Department of Hadith Studies in Islamic higher education institutions in with x EnglishArabicHebrewPolishBulgarianHindiPortugueseCatalanHmong DawRomanianChinese SimplifiedHungarianRussianChinese TraditionalIndonesianSlovakCzechItalianSlovenianDanishJapaneseSpanishDutchKlingonSwedishEnglishKoreanThaiEstonianLatvianTurkishFinnishLithuanianUkrainianFrenchMalayUrduGermanMalteseVietnameseGreekNorwegianWelshHaitian CreolePersian // TRANSLATE with COPY THE URL BELOW Back EMBED THE SNIPPET BELOW IN YOUR SITE Enable collaborative features and customize widget Bing Webmaster PortalBack//Al-Hadis Muhammad Abu ZakirWa Al MuhadditsunMuhammad Abu Zakir, Al-Hadis wa al Muhadditsun, al-Arabi, Bairut, 1984

Itusemua dibuat hanya untuk meminimalisir terjadinya hadist - hadist palsu yang beredar hanya untuk kepentingan Pribadi, politik dan sebaginya. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara penerimaan hadist? 2. syarat syarat dalam periwayatan haadist? BAB II KAJIAN TEORI 2.1 PENERIMAAN HADIST

Ilustrasi alquran. Foto Freepik. Hadits merupakan sumber hukum yang mengatur segala bidang kehidupan agama Islam setelah Alquran. Setiap hadist mempunyai unsur-unsur pokok yang perlu diketahui umat satu unsur yang harus diketahui adalah asal dan riwayat hadits tersebut. Orang yang meriwayatkan hadits disebut perawi. Para perawi biasanya berasal dari kalangan sahabat Nabi SAW dan para thabi’ Manna Al Qaththan dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits menjelaskan, para ulama menggunakan ilmu Rijalul Hadits untuk mengetahui perkembangan riwayat hadits. Ilmu ini disebut juga dengan ilmu Tarikh Ar Ruwwat yang artinya ilmu sejarah tersebut membahas kondisi perawi dari sisi sejarah kelahirannya, perjalanannya, serta segala sesuatu yang ada kaitannya. Para ulama memberi perhatian besar terhadap ilmu ini. Sebab, ilmu inilah yang dapat mengetahui derajat dan sanad hadist yang meriwayatkan hadits, terdapat unsur-unsur yang perlu diperhatikan oleh para ulama. Apa saja?Unsur-Unsur Periwayatan HaditsIlustrasi unsur periwayatan hadits. Foto Freepik. Dikutip dari buku Ilmu Memahami Hadits Nabi oleh Mashum Zein, berikut unsur-unsur yang harus ada dalam periwayatan haditsAdanya kegiatan menerima hadits dari kegiatan menyampaikan hadits kepada orang susunan mata rantai para perawi ketika sebuah hadits disampaikan kepada orang lain, yang dikenal sebagai sanad atau kalimat yang menjadi pokok pembicaraan atau disebut sebagai kegiatan yang berkenaan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits. Hal ini dikenal dengan istilah tahammul wa ada al seseorang dapat disebut sebagai perawi hadits jika telah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyampaian hadits lengkap dengan matan dan banyak nama perawi hadits yang kerap dijadikan sebagai rujukan para ulama. Siapa saja?Nama-Nama Perawi HaditsIlustrasi orang yang meriwayatkan hadits. Foto Shutterstock. Mengutip dari buku Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam oleh Dr. Muhammad Husain Mahasnah, berikut nama parawi hadits yang biasa dijadikan rujukanImam Bukhari memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kitabnya yang fenomenal dan menjadi rujukan umat Muslim adalah Shahih Bukhari. Beliau lahir pada tahun 194 H dan meninggal pada 256 Muslim memiliki nama lengkap Abul Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz Al Qusyairi An Naisaburi. Kitabnya yang terkenal adalah Shahih Muslim. Imam Muslim lahir pada tahun 204 H dan wafat pada 262 Tirmidzi lahir pada tahun 209 H dan wafat 279 H. Beliau memiliki nama lengkap Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Kitabnya yang populer adalah Sunan At memiliki nama Ahmad bin Syu’aib Al Khurasany. Kitab Imam An Nasai yang terkenal adalah Sunan An Nasai. Beliau lahir pada tahun 215 H dan wafat pada 303 Abu Dawud memiliki nama lengkap Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani. Kitabnya yang terkenal adalah Sunan Abu Dawud. Beliau lahir pada tahun 202H dan wafat pada 275 Malik memiliki nama lengkap Malik ibn Anas bin Malik bin Amr al-Asbahi. Kitab beliau adalah Al Muwatta. Beliau lahir pada tahun 93H dan wafat pada tahun 179 lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini. Kitabnya yang terkenal di kalangan umat Muslim berjudul Sunan Ibnu Majah. Beliau lahir pada tahun 209 H dan wafat pada tahun 273 H.
Paraahli hadis menganggap bahwa hadis mutawatir selalu sahih, karena banyaknya jalur periwayatan hadis tersebut memberi jaminan akan keabsahan dan keotentikan hadis tersebut. Sebaliknya hadis sahih tidak selalu mutawatir. Kembali kepada pertanyaan tentang hadis "sahih mutawatir", pernyataan bahwa apabila terdapat suatu hadis Rasul yang
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Mayoritas ulama membagi metode periwayatan hadis menjadi 8 macam 1 al-sama' 2 al-ardh atau al-qiroah 3 al-ijazah 4 al-munawalah 5 al-mukatabah 6 al-i'lam 7 al-washiyyah dan 8 al-wijadah.[1]Pertama al-sama' mendengarYaitu seorang guru memperdengarkan hadis dengan hafalan atau membaca dari kitabnya kepada orang sedang hadir mendengarnya. Kalimat yang digunakannya sepertiسَمِعْتُ ٬ حَدَّثَنا ٬ حَدَّثَنِي ٬ أخْبَرَنا ٬ أخْبَرَنِي ٬ قَالَ لَنا ٬ ذَكَرَنَاDengan cara ini umumnya ulama menyampaikan hadis Nabi kepada murid-muridnya secara lisan sementara muridnya mendengarkan. Hadis-hadis yang disampaikan itu kadang sudah dihafalkan, kadang juga hanya membacakan hadis-hadis yang sudah ditulisnya dalam suatu kitab. Menurut jumhur ulama, cara penerimaan hadis dengan al-sama' merupakan cara yang tertinggi kualitasnya. Namun ada ulama berpendapat bahwa yang tertinggi adalah hadis dengan cara al-sama' wal kitabah mendengar sekaligus menulis, jadi tidak semata-mata al-sama' saja. Ulama yang menganggap al-sama' merupakan cara yang tertinggi kualitasnya memiliki dua alasan pokok yaituMasyarakat pada masa Nabi masih menempatkan metode menghafal sebagai cara terbaik dalam menimba ilmu hadis Nabi saw. berikut iniتَسْمَعُونَ ويُسْمَعُ مِنكُمْ ويُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنكُمْ"Kalian para sahabat mendengar hadis dariku Nabi, kemudian dari kalian hadis itu didengar oleh para tabi'in, lalu hadis dari orang tersebut para tabi'in didengar oleh atbau tabi'in."[2] Contoh hadis dengan periwayatan al-sama',[3] Sumber Dokumen pribadi Kedua al-ardh atau al-qira'ah ala syaikh membaca di hadapan guruSecara etimologi, kata al-ardh berasal dari masdar 'aradha yang artinya menunjukkan atau memperlihatkan. Istilah lain yang biasa digunakan dalam metode ini adalah al-qira'ah. Secara terminologi maksudnya seorang murid menunjukkan dan membacakan sebuah riwayat kepada syaikh. Ketika membaca di hadapan syekh, murid membacanya dari kitab atau dari hafalannya dengan teliti. Sementara syaikh adalah seorang yang hafiz atau tsiqah. Syaikh memerhatikan dengan saksama hafalannya atau dari kitab aslinya atau dari naskah yang digunakan untuk mengecek dan meneliti kecocokan isinya. Kalimat yang digunakan adalah قَرَأْتُ عَلى فُلانٍ ٬ وَأَنَا أَسْمَعُ فَأَقْرَأُ,قِرَاءَةً عَلَيْهِCara menerima hadis dengan al-qira'ah dilakukan di hadapan guru. Sedangkan guru memperhatikan dengan saksama serta memberikan perbaikan jika diperlukan. Penerimaan hadis dalam bentuk ini tidak mutlak yang bersangkutan harus membacakan hadis, tapi bisa saja orang lain yang membacakan hadisnya. 1 2 3 4 5 6 7 8 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya 1 Kaedah keaslian sanad sebagai acuan. Benih-benih kaedah kesahihan hadis telah muncul pada zaman sahabat Nabi. Imam asy-Syafi'i (wafat 204 H/ 820 M), Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain telah memperjelas benih-benih kaedah itu dan menerapkannya pada hadis-hadis yang mereka teliti dan mereka riwayatkan. 9DCsZck.
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/338
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/322
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/139
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/352
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/149
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/451
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/292
  • 5qfyhy0uup.pages.dev/326
  • pertanyaan tentang periwayatan hadis